Surakarta – Secara genetik lahir dari proses literasi. Tanpa literasi Muhammadiyah mungkin tidak akan terlahir dan mencapai kemajuan seperti saat ini dilihat orang.

Hal ini disampaikan Ketua PP Muhammadiyah Prof Dadang Kahmad dalam sambutan pembukaan Festival Pers dan Literasi Muhammadiyah-Aisyiyah 2024 di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Sabtu (24/8/2024).

Dadang mencontohkan Haji Fachrodin, yang sudah berpikir bagaimana agar cara pandang dan pemikiran Muhammadiyah bisa disebarluaskan sejak dia bergabung. Dia menulis dari dari pamflet sampai akhirnya menjadi majalah Suara Muhammadiyah.

”Jadi, festival ini memang genuine Muhammadiyah,” kata Dadang

Pers dan literasi, kata Dadang, mendapat perhatian dalam Alqur’an. Itu bisa dilihat dari banyaknya dalil mengenai pentingnya kedua hal tersebut. Kode etik pers misalnya, termaktub dalam Surat Annur ayat 11-21.

”Ayat 13 itu meminta kita supaya tidak langsung menyebarkan informasi yang belum kita cek kebenarannya. Ayat 15 itu mengingatkan menyebarkan berita tidak jelas itu adalah masalah berat,” tutur dia.

Sementara literasi adalah perintah Allah pada ayat pertama yang turun kepada Muhammad. Sayangnya, kebanyakan umat Islam sampai hari ini belum menyadari perintah tersebut.

”Iqra itu perintah literasi, dan perintah itu wajib dilaksanakan. Tapi kewajiban yang paling banyak tidak dilakukan umat Islam itu saya kira justru membaca,” ujar Dadang.

Apa yang disampaikan Dadang mempertegas pernyataan Rektor UMS Prof Sofyan Anil sebelumnya, bahwa literasi nasional masih cukup memprihatinkan. Indeks baca nasional berada di bawah 1.000, di urutan 70-an dari 80 negara.

”Ada negara yang merdeka setelah indonesia tetapi lebih maju. Itu kenapa? Ya karena literasinya baik. Literasi yang baik itu tidak lepas dari peran pers. Dan saya kira semangat ini harus kita pertahankan,” kata Sofyan.

Sementara itu, Ketua Majelis Informasi dan Pustaka (MPI) PP Muhammadiyah Prof Muchlas mengatakan bahwa penyelenggaraan festival ini dilatarbelakangi penelitian mengenai kapan pertama kali Suara Muhammadiyah terbit.

Sampai ini belum ditemukan edisi perdana Suara Muhammadiyah. Ada dugaan edisi pertama itu berada di Leiden, Belanda. Meski begitu ditemukan edisi kedua yang terbit pada bulan syawal pada 1915. Setelah dikonversikan ke kalender masehi, tanggal 13 Agustus diusulkan sebagai Hari Pers dan Literasi Muhammadiyah.

” Tahun lalu, walaupun belum disetujui, MPI sudah buat festivalnya karena sejalan dengan tradisi literasi Muhammadiyah, yaitu membaca, menulis, dan mendokumentasikan,” kata Muchlas.

Selain penyampaikan materi, dalam kegiatan ini juga digelar malam budaya dan koordinasi di antara media-media afiliasi Muhammadiyah.